Kepingan Perjalanan #1

Bagiku melakukan sebuah perjalanan itu seperti melakukan perkenalan dengan orang yang baru saja kita temui, perbedaannya adalah orang yang kita ajak berkenalan adalah diri kita sendiri. Momen di mana sebuah perjalanan telah selesai kita lakukan, pada saat itu pula kita telah berhasil mengenal diri kita selapis demi selapis. Masih ingatkah kamu kapan pertama kali dirimu melakukan sebuah perjalanan? Tidak perlu kamu bayangkan sebuah perjalanan yang jauh, cukup ingat saja perjalanan terdekat dari rumahmu. Mungkin saja itu adalah perjalanan ke sekolah ketika kamu masih kecil dulu.

Aku masih ingat senyum yang terkembang di wajahku saat aku membayangkan hal itu, karena pada saat itu pula aku sadari aku ini orang yang seperti apa. Beberapa teman yang aku tanya, bercerita padaku bahwa mereka pada saat itu sadar bahwa mereka orang yang penakut. Karena mereka tidak mau berangkat ke sekolah, pada awalnya disebabkan oleh rasa takut bertemu dengan banyak orang baru ketika tiba di sekolah. Bahkan ketika beberapa orang tersebut menaruh kakinya di halaman sekolah, ia langsung menangis sambil meminta pulang. Bagi mereka lingkungan rumah lebih nyaman daripada lingkungan sekolah.

Salah seorang lagi menyadari bahwa ia ternyata orang yang sejatinya merasa kesepian ketika berada di rumah, ia mengetahui hal itu karena pada saat di perjalanan ke sekolah ia telah dapat membayangkan bahwa di sana ia akan mendapatkan teman yang bisa menemani dan mengusir kesepian yang ia dapatkan ketika di rumah. Sejak saat itu ia merasa bahwa sekolah adalah rumah pertamanya dibanding dengan bangunan yang disebut rumah, tempat ia hanya menumpang tidur dan makan selepas waktu sekolah.

Sedangkan aku sendiri, aku selalu menikmati setiap adegan perjalanan yang aku lalui. Semua bermula saat keluargaku memutuskan untuk hijrah, pindah rumah dari Selatan Jakarta menuju ke sebuah komplek perumahan baru yang terletak di pinggiran Kota Jakarta, bahkan nama Desa Bojong Kulur masih terasa sangat asing bagiku. Sejak saat itu perjalanan antar kota bahkan antar propinsi harus aku lakukan karena aku masih harus menyelesaikan tahun ke enam di Sekolah Dasar yang berada di Selatan Jakarta.

Tepat pukul 05.00 pagi selepas umat muslim menyelesaikan ibadah shalat subuh aku harus bersiap-siap untuk berjalan kaki dari rumahku menuju ke jalan raya kemudian menunggu angkutan umum yang akan membawaku berpindah kota bahkan propinsi. Menyusuri setiap jalan yang berada di wilayah Kabupaten Bogor hingga Jakarta Selatan. Terlambat untuk berangkat adalah hal yang sangat aku hindari, karena lima menit saja kaki ini terlambat melangkah maka akan tercipta perbedaan lebih dari setengah jam untuk tiba di sekolah. Jalanan Kota Jakarta di pagi hari itu sangatlah padat kawan, tidak terhitung banyaknya orang yang bernasib sama seperti diriku yang harus berkendara dari pinggiran kota menuju ke bagian dari pusat kota metropolitan.

Ternyata tanpa aku sadari hal ini yang nantinya menempaku, aku yang tadinya hanyalah seorang bocah terpaksa harus menjadi sosok yang pemberani. Sebab, berangkat sebelum matahari terbit itu membuatku menemukan hal-hal yang unik bahkan tidak sedikit di antaranya yang bisa dibilang menyeramkan bagi anak berusia hampir dua belas tahun sepertiku. Orang mabuk, supir angkutan yang ugal-ugalan, sepeda motor yang seperti tidak punya rem ketika melaju melewati zona penyebrangan pejalan kaki, hingga suara menyeramkan di sekitar pohon besar yang tidak ada wujudnya adalah hal-hal yang mau tidak mau harus siap aku temui.

Mungkin secara tidak aku sadari setiap pengalaman itu telah membuatku menyukai setiap perjalanan yang pernah atau akan aku lalukan. Termasuk perjalanan kali ini, tidak pernah sedikit pun aku membayangkan bahwa hal ini akan terjadi dalam hidupku dan semua ini bisa terwujud karena adanya satu keyakinan yang aku pegang teguh yaitu, cobalah setiap kesempatan yang datang dan ditawarkan kepadamu. Berhasil atau gagal, menyenangkan atau menyedihkan adalah hasil yang hanya dapat diketahui di akhir perjalanan nanti, tapi percayalah bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati setiap proses yang dilalui.

Kesempatan kedua memang mungkin saja bisa datang lagi walaupun kita menolak kesempatan yang datang pertama kali. Sangat wajar setiap manusia berhak untuk mendapat kesempatan yang kedua tapi kesempatan itu tidak akan sama lagi seperti yang pernah datang sebelumnya. Jadi apapun keputusan yang kita pilih, ada satu hal yang harus kita hindari. Penyesalan, perasaan menyiksa yang membuat kita selalu berandai-andai, membuat kita selalu memunculkan sebuah kalimat tanya “what if?”, karena kita tidak sempat mencobanya saat kesempatan itu datang pertama kalinya. Hal ini pula yang membuatku akhirnya menerima tawaran ini.

Leave a comment